The Last Emperor of China

Tanggal 16 September 2016. Tiba-tiba adek satu-satunya chat, dari Indonesia. Dia bertanya, apakah saya mengetahuin film The Last Emperor of China? Jawabannya tentu tidak. Akhirnya dia minta tolong kepada saya untuk membantunya mengerjakan tugasnya. Review film The Last Emperor of China, serta membandingkan sedikit film reka ulang dengan film dokumenternya. Berikut tulisan awam saya.
The Last Emperor of China, film yang menarik karena banyak membuat orang berdecak kagum, merintih miris, dan menangisi kisah sejarah panjang akhir dari kekuasaan kekaisaran di China. Alur yang panjang membuat penonton harus extra berpikir untuk menontonnya. Film ini dijadikan dalam dua versi, film dokumenter dan film yang direka ulang dengan genre drama kolosal yang diperankan kembali. Film ini di buat oleh Bernado Bertolucci pada tahun 1987. Sedangkan untuk film dokumenternya dipublikasikan tahun 2005.
Tidak berhenti disana saja, untuk ukuran tahun yang cukup lama, film yang direka ulang memiliki kualitas yang tinggi. Setting yang dibuatnya pun sama dengan aslinya. Kostum, latar, cameo dirancang sedemikian rupa untuk menciptakan keadaan seperti yang sebenarnya. Jelas memiliki perbedaan yang signifikan ketimbang film dokumenter, pola dan alur tidak ada rekaan ulang yang seolag-olah dibuat dramatis. Sebelum membahas lebih lanjut, saya akan ceritakan sedikit tentang film ini.
Film ini menceritakan tentan kisah seorang kaisar ‘dadakan’ yang diangkat sebagai kaisar pada umur 3 tahun. Kaisar Pu Yi namanya, seorang anak polos yang sering disebut The Son of Heaven. Pu Yi sama dengan anak lainnya, polos dan bahkan tak tahu bahwa dirinya adalah seorang kaisar yang ditakuti oleh banyak orang. Semua orang tunduk menyembahnya, ya hampir semua tunduk ketika dia berdiri dan menuruti semua perintah yang keluar dari mulutnya. Semua orang harus takjim, melakukan kowtow (membungkkuk dihadapannya). Ke manapun ia pergi, maka iring-iringan budak dan prajurit selalu siap membuntuti.
Demi menggambarkan suasana ini, Sang Kaisar mengaku tertawa ketika orang barat menganggap cerita dalam buku The Dream of The Red Chamber sebagai dongeng, karena menyebut seorang nenek yang selalu dikuntit oleh serombongan pengawal. Pasalnya: ia sendiri memiliki tak kurang dari 300 orang kasim yang siap menemaninya ke manapun pergi. Setidaknya, sepuluh mobil disiapkan untuk menemani Kaisar beserta rombongannya, jika ingin ke luar dari istana. Setelah diangkat sebagai kaisar, dia tinggal jauh dari kedua orang tuanya dengan alasan kerajaan yang dia harus taati.
Di kerajaan yang mewah dengan di kelilingi oleh tembok besar, dia tinggal bersama para pelayan-pelayannya. Dia hidup dengan kesendiriannya. Kehidupan luar istana sangat terlarang baginya, sama sekali tak terjamah olehnya.
Berbeda dengan kehidupannya di dalam istana, sangat mewah. Seperti berikut contoh kemewahaanya. Sehari-hari, hanya keberlimpahan yang tersaji. Untuk makan, ia punya istilah sendiri: “memilih makanan”. Maksudnya, semua kasim di bagian rumah tangga, harus mampu menghadirkan 35 menu rutin di meja makan. Padahal, hanya satu dua menu saja yang sanggup ia santap —-bahkan ada menu makanan yang sepanjang hidupnya tak pernah ia sentuh. Sang kaisar pernah menghitung, pengeluaran untuk menopang kehidupan sangkar emasnya itu, untuk jangka waktu tiga tahun, menyedot dana melebihi 2.790.000 ons emas. Tak ada yang tak masuk akal. Tak ada juga pihak yang protes. Bagi masyarakat China waktu itu, Kaisar adalah Dewa Langit. Lagipula, warisan kekayaan dari leluhur sungguh-sungguh tak terhitung.
Seorang Guru kaisar puyi yang didatangkan dari Inggris pernah menjulukinya , “The emperor is the loneliest boy on the earth”. Sebutan ini sangat benar adanya, karena dia hidup dalam kesepian ditengah melimpahnya kekuasaan, tahta, dan harta. Bahkan untuk wanita ada pengecualian yang terjadi pada kaisar Pu Yi. Dia hanya memiliki satu istri dan satu selir. Ini kejadian yang cukup langka, karena tidak umum terjadi pada kehidupan seorang kaisar.
Hidup di tengah kehidupan istana dan mengikuti pola kehidupan kerjaan membuat Pu Yi tumbuh menjadi sosok yang keras.dia mencontoh dari perlombaan yang terjadi antara panglima, kasim-kasim dan orang-orang yang ada di dalam istana. Dia juga sosok yang cukup sombong.
Seiring bertambahnya usia, Pu Yi mulai mengenal kehidupan luar. Pertemuan bilateral sering dilakukan olehnya. Tapi ada satu kejadian yang paling membuatnya berkesan adalah saat bertemu dengan orang dari Inggris. Dia mengakhiri kesombongannya ketika melihat orang Inggris tersebut. Pu Yi sempat malu karena dia kaisar yang masih menggunakan kuas, sedangkan orang-orang sudah menggunakan pulpen. Sama halnya ketika semua orang menggunakan wol untuk menghangatkan diri, dirinya masih menggunakan kain sutera. Padahal hal tersebut hanya tergantung pada kebudayaan dan kebiasaan bukan karena gengsi semata. Fakta tersebut semakin menunjukan bahwa Pu Yi merupakan sosok yang terkungkung dalam sangkar emasnya.
Sampailah dititik dimana akhirnya Cina mencabut jabatannya sebagai kaisar. Pu Yi menjadi orang biasa seutuhnya, sempat kabur ke kota yang sudah dikuasai oleh Jepang. Sampai pada akhirnya Pu Yi hanya dimanfaatkan semata oleh Jepang. Dan dia lagi-lagi harus ditangkap oleh pihak Rusia, ditahan selama 7 hari di Siberia untuk diintrogasi. Kemudian dikembalikan ke Cina dan dipenjara sebagai tahanan perang. Sepuluh tahun kemudian dibebaskan oleh kepemimpinan Mao sebagai amnesti terhadap tahanan perang.
Berikut ulasan cerita di atas dari The Last Emporer in China. Kembali lagi kita akan mengulas mengenai perbedaan dari film reka ulang dengan film dokumenter. Perbedaan yang sangat jelas adalah dari segi produksi, film reka ulang memiliki keindahan yang cukup jelas. Gambar yang jelas, adegan yang begitu memukau, kostum yang dipilih begitu cocok dan lain sebagainya. Dan satu kelebihan film reka ulang ini memiliki warna pada setiap adegannya. Berbeda ketika kita melihat film dokumenter. Yang telihat adalah adegan asli, dengan warna yang masih hitam-putih. Membuat film ini terlihat sangat serius, dingin, dan tentunya membosankan.
Dari segi desain grafis dan artistik, film reka ulang memiki satu poin unggul. Akan tetapi dari segi kebenaran dan realita sejarah, film dokumenter menang jauh di atas film reka ulang. film dokumenter memiliki realita sejarah yang asli tanpa diubah oleh sang editor. Menceritakan keadaan sebenarnya tanpa harus ada adegan dramatis yang membuat penonton shock.
Pada dasarnya, kedua film ini berjalan seiringan membentuk kolaborasi yang senada. Kedua film ini tidak dapat dipisahkan karena satu menjelaskan lainnya. Banyak adegan atau kejadian yang di film dokumenter mungkin hilang, sengaja dihilangkan atau memang tidak terekam. Akhirnya diceritakan kembali oleh film reka ulang yang membuat semuanya jelas. Tapi tidak juga menutup kemungkinan bahwa film reka ulang dapat menjungkir-balikan sejarah dengan membuat alur cerita sendiri. Sejauh penelitian penulis, kedua film ini berjalan seiringan tanpa ada pengubahan sejarah. Sejarah yang membangun asal kita! Salam!
1 comments
Sepertinya adikmu nggak rajin sis... nggak bagus mengambil alih urusannya sih...
ReplyDelete